Pertama, menghindari tuduhan yang bersifat prasangka
adalah kewajiban pokok yang wajib ditunaikan kaum muslimin. Mereka -terutama
para pemimpin- juga harus menyadari bahwa prasangka seperti itu menjadi pusat
perhatian lawan maupun kawan. Karena itu, sedapat mungkin agar dapat
menghindari tempat-tempat dan hal apa pun yang bisa menimbulkan prasangka
buruk.
Kedua, jangan menerima isu begitu saja. Berita apa
pun yang tidak diperkuat dengan bukti, harus ditolak oleh setiap Muslim.
Sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala dalam al Qur’anul Karim, “Mengapa mereka
(yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu?
Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah di sisi
Allah adalah pendusta.” (QS. An Nur, 24:13)
Ketiga, menimbang secara cermat dalam menilai
benar-tidaknya suatu isu. Caranya dengan membandingkan isu yang berkembang
dengan kenyataan ada pada diri anda sendiri. Dengan demikian, pastilah Anda
akan tetap memercayai teman Anda itu seperti halnya memercayai diri Anda
sendiri. Cara menimbang seperti itu diakui dan dipuji oleh Al Qur’anul Karim,
yaitu berkenaan dengan suatu perbincangan antara Abu Ayyub Al Anshari dengan
istrinya, Ummu Ayub Ra. Wanita itu berkata,
”Tidaklah kamu mendengar apa yang dikatakan orang mengenai Aisyah?”
“Ya, tapi itu bohong,” jawab si suami, “Apakah kamu melakukannya juga, hai ummu Ayyub?”
“Tidak, demi Allah,”kata si istri, “Mengapa aku harus meniru orang-orang itu?”
“Abu Ayyub menegaskan, “Demi Allah, Aisyah itu lebih baik darimu.” (Ibnu Hisyam, (As Sirah An Nabawiyah, II/303).
”Tidaklah kamu mendengar apa yang dikatakan orang mengenai Aisyah?”
“Ya, tapi itu bohong,” jawab si suami, “Apakah kamu melakukannya juga, hai ummu Ayyub?”
“Tidak, demi Allah,”kata si istri, “Mengapa aku harus meniru orang-orang itu?”
“Abu Ayyub menegaskan, “Demi Allah, Aisyah itu lebih baik darimu.” (Ibnu Hisyam, (As Sirah An Nabawiyah, II/303).
Keempat, jangan sekali-kali membiarkan hawa nafsu
ikut campur dan berperan dalam tersebarnya kabar bohong. Karena memperturutkan
hawa nafsu, sama saja kita menjerumuskan diri kita ke dalam lembah kesesatan. Seperti
perkataan Zainab, istri Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Al Muqrizi
tentang dialog yang dilakukannya dengan Rasulullah SAW, di mana istri yang baik
budi itu mengatakan kepada suaminya, “Terpeliharalah kiranya pendengaranku dan
penglihatanku. Aku tidak melihat pada Aisyah kecuali yang baik-baik saja. Demi
Allah, aku tak pernah mengajaknya bicara dan aku memang benar-benar
mendiamkannya, tetapi aku hanya mengatakan yang benar.” (Al Muqrizi, Imta’ul
Asma’ 1/208). Padahal pada saat itu antara Zainab dan Aisyah sering terjadi
perlombaan untuk menarik hati Rasulullah. Namun hal itu tak lantas membuat
Zainab iri hati dan memperturutkan hawa nafsunya dengan menjelek-jelekkan
Aisyah.
Kelima, janganlah membalas berita bohong dengan
berita bohong yang lain dan janganlah membalas isu yang dusta dengan isu lain
yang serupa. Hendaklah pula orang yang diisukan itu mampu menahan diri.
Maksudnya, jangan membiarkan lidahnya berbicara yang melanggar kehormatan orang
lain, sekalipun orang lain itu telah menganiaya dirinya, sampai terbukti
dirinya benar dan tidak bersalah. Inilah sikap yang sangat penting, yang kita
serukan kepada siapa pun yang sedang terkena isu.
Keenam, sikap terakhir yang dapat kita simpulkan dari
peristiwa haditsul-ifki ialah menghukum orang-orang yang terpedaya yang
terlibat dalam penyebaran fitnah.
No comments:
Post a Comment