Sunday 22 January 2017

CARA-CARA RASULLAH UNTUK MENGHADAPI FITNAH DI MEDIA DALAM BENTUK ISLAM

Pertama, menghindari tuduhan yang bersifat prasangka adalah kewajiban pokok yang wajib ditunaikan kaum muslimin. Mereka -terutama para pemimpin- juga harus menyadari bahwa prasangka seperti itu menjadi pusat perhatian lawan maupun kawan. Karena itu, sedapat mungkin agar dapat menghindari tempat-tempat dan hal apa pun yang bisa menimbulkan prasangka buruk.
Kedua, jangan menerima isu begitu saja. Berita apa pun yang tidak diperkuat dengan bukti, harus ditolak oleh setiap Muslim. Sebagaimana difirmankan Allah Ta’ala dalam al Qur’anul Karim, “Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah di sisi Allah adalah pendusta.” (QS. An Nur, 24:13)
Ketiga, menimbang secara cermat dalam menilai benar-tidaknya suatu isu. Caranya dengan membandingkan isu yang berkembang dengan kenyataan ada pada diri anda sendiri. Dengan demikian, pastilah Anda akan tetap memercayai teman Anda itu seperti halnya memercayai diri Anda sendiri. Cara menimbang seperti itu diakui dan dipuji oleh Al Qur’anul Karim, yaitu berkenaan dengan suatu perbincangan antara Abu Ayyub Al Anshari dengan istrinya, Ummu Ayub Ra. Wanita itu berkata,
”Tidaklah kamu mendengar apa yang dikatakan orang mengenai Aisyah?”
“Ya, tapi itu bohong,” jawab si suami, “Apakah kamu melakukannya juga, hai ummu Ayyub?”
“Tidak, demi Allah,”kata si istri, “Mengapa aku harus meniru orang-orang itu?”
“Abu Ayyub menegaskan, “Demi Allah, Aisyah itu lebih baik darimu.” (Ibnu Hisyam, (As Sirah An Nabawiyah, II/303).
Keempat, jangan sekali-kali membiarkan hawa nafsu ikut campur dan berperan dalam tersebarnya kabar bohong. Karena memperturutkan hawa nafsu, sama saja kita menjerumuskan diri kita ke dalam lembah kesesatan. Seperti perkataan Zainab, istri Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Al Muqrizi tentang dialog yang dilakukannya dengan Rasulullah SAW, di mana istri yang baik budi itu mengatakan kepada suaminya, “Terpeliharalah kiranya pendengaranku dan penglihatanku. Aku tidak melihat pada Aisyah kecuali yang baik-baik saja. Demi Allah, aku tak pernah mengajaknya bicara dan aku memang benar-benar mendiamkannya, tetapi aku hanya mengatakan yang benar.” (Al Muqrizi, Imta’ul Asma’ 1/208). Padahal pada saat itu antara Zainab dan Aisyah sering terjadi perlombaan untuk menarik hati Rasulullah. Namun hal itu tak lantas membuat Zainab iri hati dan memperturutkan hawa nafsunya dengan menjelek-jelekkan Aisyah.
Kelima, janganlah membalas berita bohong dengan berita bohong yang lain dan janganlah membalas isu yang dusta dengan isu lain yang serupa. Hendaklah pula orang yang diisukan itu mampu menahan diri. Maksudnya, jangan membiarkan lidahnya berbicara yang melanggar kehormatan orang lain, sekalipun orang lain itu telah menganiaya dirinya, sampai terbukti dirinya benar dan tidak bersalah. Inilah sikap yang sangat penting, yang kita serukan kepada siapa pun yang sedang terkena isu.


Keenam, sikap terakhir yang dapat kita simpulkan dari peristiwa haditsul-ifki ialah menghukum orang-orang yang terpedaya yang terlibat dalam penyebaran fitnah.

No comments:

Post a Comment